Pemilihan kepala daerah sesuai dengan konteks zaman

By | 11:26 Leave a Comment

Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, merupakan manifestasi dari tuntutan demokrasi rakyat, rakyat diberikan ruang demokrasi guna melaksanakan hak-hak politiknya. Merupakan antitesa dengan pemilihan perwakilan yang dilaksanakan sebelumnya, rakyat hanya dijadikan alat demokrasi untuk dilegitimasi oleh wakil rakyat.Apapun yang menjadi keputusan wakil rakyat keprupakan keputusan rakyat itu sendiri, asumsi itu lahir bahwa hak-hak rakya terwakili oleh wakil-wakil yang dipercayakan duduk diparlemen.

Secara filosofis, hak-hak politik rakyat sesungguhnya tidak dapat di wakilkan, karena hak-hak pilitik rakyat merupakan hak yang melekat disetiap individu manusia, sehingga harus diberikan ruang kemerdekaan dalam memberikan apresisasi dalam menentukan hak politiknya. Pemilihan secara langsung oleh rakyat menupakan hak-hak politik rakyat. Rakyat tidak lagi menjadi soporter dalam setiap momen politik pemilihan kepalda daerah, akan tetapi rakyat menjadi voter, penentu politik.

Sebuah konsekuensi, terhadap pilihan rakyat sebab akan mempunyai resiko terhadap baik buruknya pembangunan, dan pengelolaan pemerintahan selama lima tahun periode. Sehingga tentunya rakyat juga harus selektif, kritis dalam membeikan hak suaranya.

Selain daripada peran penting rakyat dalam mengimplementasiikan hak-hak politiknya. Maka juga harus tesedia perangkat hukum, criteria menjadi kepala daerah dengan memberikan indicator untuk dipilih oleh rakyat. Tidak sepenuhnya demokrasi itu diharapkan dari rakyat. Namun diperlukan sebuah payung hukum untuk dipilih oleh rakyat sebab dalam proses pemilihan rakyat hanya memilih figur yang tersedia.
Payung hukum yang dimaksud adalah kiteria figure yang secara troritis dan akademik, filosofis memang layak dan pantas untuk menjadi kepala daerah. Sehingga pada saat pemilihan rakyat tidak asal memilih.

Pada proses pilkada langsung sebagaimana dimaksudkan di atas, tidak hanya dimaknai sebagai bentuk ketersediaan figure yang ideal untuk memimpin rakyat dan dalam membangun sebuah pemerintahan. Namun demikian juga yang sangat menetukan adalah proses yang pemilihan yang fair, keterlibatan rakyat dalam mengimlementasikan haknya secara langsung tanpa ada paksaan. Demikian juga dengan system pemilihan yang sesuai pada konteks hukum, lingkugan, sosio-politik, dan kultur masyarakat. System pemilihan mempunyai peran penting dalam menentukan kualitas demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Sebab dari berbagai system pemilihan umum yang tersedia tentunya tidak selamanya relefan dengan kebutuhan dan kondisi Negara Indonesia. Sebagai Negara hukum dan demokrasi.

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan Pilkada

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilihan kepala darah. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Hanya terjadi formulasi sesuai dengan kondisi an tuntutan kebutuhan hak-hak politik masyarakat, sebagai pemegang kedaulatan. Sebagaimana diamantkan dalam UUD NRI 1945.

Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Inti dari demokrasi pancasilah adalah musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Indonesia pertamakali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.

Ada beberapa pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu :

1. jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat yan sebelumnya hanya sampai pada keinginan politik wakil-wakil rakyat.

2. perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing secara demokratis.

3. sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Dengan melaksanakan hak politiknya berdasarkan hati nuraninya.

4. sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung, merupakan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini, yang sewaktu-waktu akan tampil dipentas politik regional, nasional bahkan internasional.

B. Sistem Pemilihan Di Indonesia

Menurut Andrew Reynolds dan Ben Reilly dalam buku terjemahan “Sistem Pemilu” yang diterbitkan kerjasama IDEA, United Nations, IFES Tahun 2002 Sistem pemilihan yang saat ini dipakai diseluruh dunia, dapat dikelompokan dalam tiga kelompok besar, yaitu:

1. Sistem Pluralitas mayoritas adalah Pluralitas mayoritas karakter yang paling menonjol adalah bahwa sistem tersebut hampir selalu menerapkan sistrik tunggal, Dalam kelompok sistem pluralitas mayoritas terbagi atas empat kelompok yaitu :
a) First Past the Post (FPTP) dalam sistem ini dimaksudkan calon legislatif yang menang adalah yang mendapatkan suara terbanyak. Secara teoritis, seseorang caleg dapat dipilih dengan dua suara saja, jika caleg-caleg yang lain hanya mendapatkan satu suara.
b) Blok Vote (BV) dimaksudkan adalah para pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang akan diisi, dan biasanya mereka bebas memilih caleg tanpa memprtimbangkan afiliasi partainya.
c). Alternatif vote (AL) dimaksudkan bahwa para pemilih dapat mengurutkan caleg sesuai dengan pilihan mereka, dengan memberi tanda “1” untuk caleg yang paling disukai, “2” untuk yang dibawahnya, “3” yang lebih renda lagi, dst. Siste pemilihan ini disebut “Prefential voting” (pemilihan berdasarkan preferensi). (Ben Reilly). d). Two Fund Sistem (TRS) yaitu bukan sekali pilihan saja, akan tetapi dua putaran. Putaran pertama dilaksanakan sama seperti model FPTP jika seseorang caleg mendapatkan suara mayoritas absout, maka mereka secara langsung terpilih, dan tidak diperlukan putaran kedua. Tetapi, jika tidak ada caleg yang mendapatkan mayoritas absolut, maka putaran kedua dilaksanakan, dan pemenang dari putaran ini dinyatakan terpilih. (Ben Reilly dan Andrew Reynolds)

2. Sistem Semi Proporsional merupakan sistem yang mengkonvensi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara proporsionalitas sistem perwakilan proporsional dengan mayoritarian dari sistem mayoritas-pluralitas. Pada sistem pemilihan semi proporsional terbagi atas tiga komponen. yaitu :
a). Single Non Transtroble Vote (SNTV) yaitu setiap pemilih memilih satu suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi dalam distrik tersebut, dan caleg yang memperoleh suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut. (Andrew Reynolds)
b). Sistem Paralel (atau campuran) yaitu menggunkan baik daftar-daftar representasi proporsional maupun distrik-distrik mayoritas-pluralitas. “pemenang mengambil semuanya” (Andrew Reynolds)
c). Limited Vote (LV) yaitu sistem ini terletak antara SNTV dan Block Vote Karen dalam sistem ini ada sistrik wakil majemuk, dan para caleg yang menang semata-mata adalah mereka yang megumpulkan paling banyak suara. Para pemilih dapat memberikan suara yang jumlhanya lebih sedikit dari jumlah kursi yang diisi, tetapi lebih dari satu suara. (Andrew Reynolds)

3. Sistem Representasi Proporsional adalah sistem pemilihan yang segaja mengurangi kesenjangan antara perlehan suara partai secara nasional dengan perolehan kursinya di parlemen.

Sistem representasi proporsional terdiri atas tiga kelompok, yaitu :
a). Representasi Proporsional Drafter (RPD) yaitu setiap partai yang menyajikan daftar nama caleg kepada pemilih, kemudian pemilih memilih satu partai; dan partai memperoleh suara sebading dengan perolehan suara secara nasional. Para caleg yang menang diambil secara berurutan dari daftar tersebut.
b). Mixed Member Proportional (MMP) yaitu apabia sebuah partai memenangkan sepuluh persen suara nasional tetapii tidak mendapatkan kursi berdasarkan sistem distrik, kemudian partai tersebut akan diberikan kursi yang seimbang dari daftar Representasi proporsional (RP), sehingga perwakilan mereka dalam perlemen menjadi sepuluh persen.

Single Transterable Vote (STV) yaitu mengunakan sistem majemuk, di mana pemilih mengurutkan caleg berdasarkan kesukaan (preferensi) mereka dalam kertas suara sama seperti yang dilakukan Alternative vote.
Morissan, (2005 : 220) bahwa; tata cara melaksanakan pemilihan umum pada dasarnya sangat ditentukan oleh bentuk lembaga perwakilan, partai politik yang ada, dan sistem politik pada suatu Negara. sehingga Secara demokrasi sistem pemilihan umum adalah sesuai dengan keinginan masyarakat untuk menentukan pilihan atau berhak untuk mencalonkan diri, dan dalam pemilihan umum suara individu sangat diperhitungkan.

Menurut Morissan (2005 : 221) dikenal dua cara untuk mengisi kenggotaan lembaga perwakilan yaitu:

1. Melalui sistem pemilihan organis. Dalam sistem ini rakyat diangap sebagai individu-idividu yang bergabung dalam beberapa persekutuan-persekutuan hidup baik berdasarkan lapisan social, profesi maupun asal atau keturunan misalnya kelompok tani, guru buruh dan lain-lain. Dalam persekutuan ini memiliki hak politik untuk menunjuk akilnya di lembaga perwakilan sesuai dengan yang diminta oleh konstitusiatau undang-undang yang mengatur lembaga perwakilan tersebut.

Sistem pemilihan mekanis. Dalam sistem ini rakyat dianggap sebagai individu-idividu yang berdiri sendiri, dimana satu orang adalah mempunyai satu suara. Pada sistem ini biasanya dikenal dua cara, yaitu :
a). Sistem perwakilan distrik atau disebut segai sistem mayoritas (single member constituency). Dalam sistem ini wilayah Negara dibagi-atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang tersedia di parlemen untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum.
b). Sistem perwakilan proporsional atau disebut juga dengan sistem pemilihan berimbang (multy member constituency), dengan sistem ini kursi di parlemen pusat diperebutkan dalam satu pemilihan umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh partai. Kelemahan sistem ini adalah calon-calon kurang dikenal oleh constituent karena wakil rakyat ditentukan oleh partai, sehingga program yang ditawarkan adalah program partai bukan program calon.

Sedangkan CF. Strong (2004 : 95-96) sistem pemilihan dibagi atas dua jenis sistem pemilihan; dari sudut pandang hak pilih atau hak suara dan kedua dari sudut pandang konstituensi (daerah pemilihan) atau jumlah pemilih, yaitu:

1. Jenis Hak suara, pertama-tama, berkenan dengan sistem pemilihan, negara-negara konstitusional kini dapat dibagi menjadi dua: Negara dengan pemilih dewasa berarti hak pilih hanya dimiliki semua orang dewasa baik pria maupun wanita dalam batasan umur tertentu, syarat-syarat yang sama dan tanpa persyaratan khusus, terlepas dari pencabutan hak suara karena melakukan tindakan kejahatan, hilang ingatan, dan sebagainya.

2. Jenis konstituensi (daerah pemilihan) bentuk konstituensi memberikan dasar pembedaan lebih lanjut dari sudut pandang sistem pemilihan di antara negara-negara konstitusional yang sudah ada.

Perbedaan ini terletak di antara negara-negara konstituensinya menghasilkan satu orang (atau paling banyak dua orang) dengan negara yang konstituenya menghasilkan beberapa anggota. Konstituen yang terakhir ini umumnya dikaitkan dengan inovasi demokrasi yang dikenal sebagai perwakilan proporsional (proportional representation).
Proporsional bertujuan untuk menjamin perwakilan kaum monoritas yang di tempat lain mungkin tidak memiliki suara dalam majelis terpilih.

Pada umumnya, sistem pemilihan dapat dilakukan pada dua cara yaitu melalui pengangkatan (penunjukan) yang biasa disebut dengan sistem pemilihan organis. Kedua, dengan cara pemilihan umum atau disebut dengan sistem pemilihan mekanis. Namun cara tersebut adalah tidak sama disemua negara, sebab tergantung dari negara masing-masing.

Menurut Wolhoff dalam Ni’matul Huda (2005 : 270) bahwa dalam sistem organisme, rakyat dipandang sebagai jumlah individu-individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup seperti geneologi (rumah tangga), territorial (desa, kota,daerah), fungsional spesial (cabang industri), lapisan-lapisan, dan sebagainya. Masyarakat dipandang sebagai suatu organisasi yang terdiri dari organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totaliter suatu organisasi, yaitu :persekutuan-persekutuan hidup di atas. Peresekuatuan inilah sebagai pengendali hak pilih, atau lebih tepat sebagai hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat (rakyat).

Menurut Affan Gaffar dalam Ni’matullah (2005 : 275), sistem pemilihan electoral law tidak mempunyai sistem kepartaian di Indonesia. Sistem demokrasi juga disebut demokrasi procedural sebagaimana Eep Saepulloh Fatah (2005) mangatakan bahwa demokrasi procedural merupakan model sistem distrik (dengan berbagai variannya) ada juga dengan sistem proporsional (dengan berbagai variannya). Demikian pula atas sistem pemerintahan yang dipilih “apakah presidensial atau parlementer. Secara procedural, banyak pilihan yang dapat dikembangkan, yang penting tidak mengingkari aspek demokrasi subtansial.

Kelompok minoritas, seperti agama dan etnis, jumlahnya cukup banyak. Pemisahan yang tajam antar kelompok minoritas atau mayoritas terdapat disejumah daerah. Dengan sistem pemilihan umum saat ini, khususnya untuk anggota DPRD, proporsional dengan daftar calon terbuka memeperhatikan hal ini karena sifatnya yang inklusif. Tetapi sifat inklusif itu masih akan tetap dipengaruhi oleh besar kecilnya suatu daerah pemilihan akan memiliki 3 (tiga) sampai 12 kursi perwakilan. Semakin banyak daerah yang mempunyai kursi sedikit, kearah 3 (tiga), akan semakin sedikit parpol yang terwakili di DPRD Provinsi, sebaliknya dengan semakin besar daerah pemilihan dengan lebih banyak kursi, akan ada peluang lebih luas untuk keterwakilan yang lebih luas pula. Artinya akan lebih bersifat eksklusif. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Thn 2003 bahwa “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon tebuka ”bahwa sistem proporsionl secara relatif akan mendorong keterwakilan yang inklusif, adalah tergantung besarnya daerah pemilihan”.

C. Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada

Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.

Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.

Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.

Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.

Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
Money politik, ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.

Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
Intimidasi juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.

Pendahuluan start kampanye Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.

Kampanye negative, ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.

Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :

1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.

2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.

3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.

4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.

KESIMPULAN

pemilihan langsung, diperlukan peran serta rakyat dalam memberikan hak pilihnya, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dengan tidak sekedar memberikan hak politiknya, akan tetapi berdasarkan hati nuraninya. Karena pemilihan langsung apapun hasilnya (baik-buruknya) pemimpin yang terpilih adalah pilihan rakyat yang tidak dapat dilegitimasi oleh keompok atau individu yang lain. Pemimpin yang berkualitas tersebut diharapkan dapat melaksanakan amanah rakyat , yang lambat laun akan dipercayakan masyarakat untuk enjadi pemimpin baik pada tingkat regional, nasional, internasional.

system pemilihan merupakan bagian penting dalam menenukan kualitas demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebab menjadi alur dalam pemilihan yang dilaksanakan secara langsung. System pemilihan di Indonesia sebaiknya diberikan ruang kepada masyarakat lain dalam bentuk calon independent artinya bahwa tatkla masyarakat diberikan kebebasan dalam berdemokrasi maka kran demokrasi harus dibuka lebar bagi seluruh warga Negara yang memenuhi syarat dalam berdemokrasi.

pelakasanaan pemilihan secara langsung bayak ruang-rung kesalahan/ perilaku yag tidak sehat yag dapat mencederan demkrasi yaitu; lintimidasi, sogok menyook, pendahuluan star kampanye, kampanye negative. Dalam dmokrasi diperlukan kedewasaan politik masyarakat dengan menganggap bahwa demokrasi merupakan proses untuk menuju kesejahteraan rakyat, sehingga demokrasi tidak bisa dinodai hanya karena kepentingan kelompok atau individu tetentu. Demokrasi adalah milik semua rakyat dan akan dinikmati oleh seluruh rakyat indonsia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Afandi Emilianus, 2005 Menggugat Negara Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan, Penerbit PBHI dan Europen Union: Jakarta.
2. Affan Gaffar, 1997 Membangun Budaya Politik Melalui Pemilu, Afkar, IV: 38-56
3. Alfan Alfian, M., Dkk 2005 Bagaiman Memenangkan Pilkada Langsung, Akbar Tanjung Institute, Jakarta.
4. Fatah, Eep Saifullah, 1999 Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan, Remaja Rosda Karya: Bandung
5. Mahenra, Yusril, Ihza, 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, gema insani press Jakarta
6. Ni’matul Huda,. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Newer Post Older Post Home

0 comments: