Toharoh - Bersuci

By | 11:27 Leave a Comment

Bersuci dalam bahasa Arab disebut dengan toharoh yang berarti bersih dari najis. Dalam pengertian fiqh, kotor dan najis bisa jadi berbeda, sesuatu benda yang kotor belum tentu ber-najis. Sebagai contoh, pakaian yang terkena keringat kita sebut kotor, tetapi dalam konteks ilmu fiqh tidak disebut najis dan pakaian tersebut masih bisa digunakan untuk shalat. Sebaliknya pakaian yag terkena percikan air seni, walaupun tidak terlihat dan tidak tercium baunya disebut najis dan harus dibersihkan dulu sebelum digunakan untuk shalat.

Contoh kasus: seseorang menunda shalat berjamaah karena ingin mengganti pakaian yang berkeringat dengan pakaian yang bersih. Dalam hal ini ia telah menunda suatu pekerjaan yang utama (berjama’ah) dengan dengan suatu hal yang tidak perlu. Secara syari’at ia masih dapat menggunakan pakaiannya yang terkena keringat untuk shalat.

Macam-Macam Toharoh

Toharoh dari hadats yaitu najis abstrak
Yakni dibersihkan dengan cara mandi, wudhu atau bertayamum.
Hadats terbagi menjadi dua: hadats kecil dan hadats besar.
Hadats kecil: membersihkannya dengan berwudhu (buang angin, buang air kecil, buang air besar).
Hadats kecil: membersihkannya dengan mandi (berhubungan suami istri, haidh).
Toharoh dari hobats yaitu najis yang tampak oleh mata.
Hobats dibersihkan dari badan, pakaian dan tempat dengan cara mencuci, mengerik dan lainnya. Contoh hobats adalah air seni dan tinja.

Yang sering ditanyakan berkaitan dengan pengertian hadats dan hobats adalah: sesudah wudhu menginjak kotoran (misalnya air kencing), apakah perlu berwudhu lagi?
Jawab: Tidak perlu berwudhu lagi, karena ia masih suci dari hadats, sedangkan hobats-nya hanya harus dibersihkan terlebih dahulu.

Buang angin (kentut) membatalkan wudhu karena ditentukan oleh syari’at (najis yang hukmi/ bukan najis hakiki). Karena itulah buang angin merupakan hadats (najis yang abstrak). Membersihkannya juga dijelaskan oleh syariat, yakni dengan cara berwudhu.

Keutamaan Bersuci

Sebagai penyebab sahnya shalat ataupun ibadah lainnya. Tidak semua ibadah memerlukan bersuci, shalat dan thawaf memerlukan suci dari hadats dan hobats. Puasa memerlukan kesucian dari hadats. Zakat tidak membutuhkan kesucian; baik dari hadats maupun dari hobats. Mengembalikan semangat muslim.

Nabi saw menganjurkan agar seorang yang selesai melakukan hubungan suami istri untuk berwudhu, baik hendak tidur maupun hendak mengulangi kembali. Hal yang demikian akan mengembalikan vitalitas dan semangat.
Merupakan separoh nilai keimanan. Nabi saw mengatakan bahwa Attuhuuru syattul iman, kesucian itu sebagian dari iman. Orang yang beriman akan cenderung membersihkan dirinya, baik secara fisik maupun non-fisik. Angka setengah disini bukan diartikan angka sebenarnya, akan tetapi menunjukkan bahwa hal tersebut adalah bagian yang sangat besar dalam Islam. Dapat mendatangkan cinta Allah swt. (QS 9:108 dan 2:222)

Membersihkan diri, baik secara kejiwaan (at tawwabiin) ataupun secara fisik (al mutatohhirin).
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa Allah swt menyukai kebersihan fisik disamping kebersihan ruhani.

Sebagai usaha preventif bagi kesehatan.
Sudah diketahui bersama bahwa hidup sehat dimulai dari menjaga kebersihan.
Material Yang Dapat Mensucikan

Air jernih/ murni
Al Qur’an menyebutkan “wa anzalna minassamaai maaan tohuro…” (QS. 25:48)
Tanah dengan banyak jenisnya.
Kesimpulan ini ditarik oleh para ulama dari ayat tayamum.
Sinar matahari
Yakni daya untuk mengeringkannya, karena sesuatu sesudah kering dianggap suci secara syar’i. Rasulullah saw berkata “Tanah itu suci dengan keringnya“. Tanda bahwa ia sudah kering adalah tidak lagi berbau. Jika masih berbau berarti belum kering sepenuhnya.
Angin yang berhembus.
Serupa dengan sinar matahari, daya untuk mengeringkannya.
Proses fermentasi alami.
Yakni perubahan dari, misalnya khomr menjadi cuka. Ini terjadi begitu saja tanpa ada campuran. Darah menjadi minyak wangi. Ini terjadi pada proses terbentuknya minyak kesturi, yang dihasilkan dari darah Rusa.
Proses menyamak kulit.
Kulit yang berasal dari bangkai atau hewan yang haram, kulitnya bisa dipakai setelah disucikan dengan cara menyamak.

Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin dibersihkan. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan secara sederhana mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara membersihkan najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat. Semoga bermanfaat.
Hukum Air

Empat macam air itu adalah:
1. Air Muthlaq, seperti air hujan, air sungai, air laut; hukumnya suci dan mensucikan
2. Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari anggota tubuh orng yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis; hukumnya suci seperti yang disepakati para ulama, dan tidak mensucikan menurut jumhurul ulama
3. Air yang bercampur benda suci, seperti sabun dan cuka, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air, maka hukumnya masih suci mensucikan, menurut Madzhab Hanafi, dan tidak mensucikan menurut Imam Syafi’i dan Malik.
4. Air yang terkena najis, jika mengubah rasa, warna, atau aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh dipakai bersuci, menurut ijma’. Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan, menurut Imam Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensuciakn menurut Madzhab Hanafi; mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3.
Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah diminum:
    1. Sisa anak Adam (manusia) hukumnya suci, meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh.
    2. Sisa kucing dan hewan yang halal dagingnya, hukumnya suci.
    3. Sisa keledai dan binatang buas, juga burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi.
    4. Sedangkan sisa anjing dan babi, hukumnya najis menurut seluruh ulama
Newer Post Older Post Home

0 comments: