Membuat Komunitas Untuk Sebuah Brand #38

By | 10:36 Leave a Comment
Horizontalisasi Marketing yng makin terasa, membuat sebuah brand tak cukup untuk melakukan komunikasi melalui media iklan saja. Sebuah brand harus turun langsung menjumpai pelanggannya untuk berkomunikasi. Dalam Hal ini ada dua cara bagi sebiah brand untuk masuk dan berteman dengan pelanggannya, sebuah brand bisa masuk ke dalam komunitas yang sudah ada atau membuat komunitas sendiri.

Dalam Tulisan Hermawan Kartajaya ke #38 beliau mengupas 6 mitos bagi sebuah brand dalam membangun komunitas yang berasal dari Susan Fouenier dan Lara Lee di Harvard Business Review. Berikut ini adalah tulisan beliau tentang 6 mitos tersebut dan bagaimana menghadapinya:


Pertama, pembentukan komunitas brand dianggap sebgai strategi pemasaran. Jadi, hanya diurusi oleh departemen marketing. Padahal itu adalah strategi bisnis. Jadi, harus benar-benar pekerjaan CEO.

Ketika Harley Davidson menetapkan brotherhood sebagai dasar komunitasnya, itu adalah keputusan bisnis bukan pemasaran. Karena itulah,  brotherhood bukan hanya terjadi di eksternal, tapi juga pada internal customers. Harley Owners Group atau HOG adalah organisasi komunitas brand yang langsung melapor pada CEO!

Kedua, komunitas brand ada untuk mendukung bisnis. Padahal, komunitas brand itu diadakan untuk melayani orang-orang di dalamnya. Kalau orang-orang anggota komunitas tersebut tidak merasa mendapat apa-apa di situ, komunitas akan rapuh. Orang-orang itu juga minta dikenal, dihargai, dan diikutsertakan dalam berbagai hal. Barulah mereka merasa betah dan terikat  pada komunitas brand tersebut.

Ketiga, marilah membangun brand, maka komunitas akan mengikuti. Padahal yang terjadi sebaliknya, buatlah komunitas jadi kuat, maka brand akan jadi kuat juga. Dulu, orang mengagumi pada sebuah brand yang kuat, gagah, dan perkasa. Karena itu, orang lantas membentuk fans club untuk berkumpul dan bersama-sama mengagumi.

Sekarang, sebaliknya! Orang semakin tidak mau, kalau brand tertentu tidak peduli akan komunitasnya. Semakin brand peduli pada komunitasnya, semakin kuat brand itu didukung oleh komunitas.

Keempat, komunitas hanya harus mendukung brand secara fanatik. Ternyata, membiarkan komunitas berpendapat berbeda dan terjadi adu argumen tentang sebuah brand adalah bagus. Itu berarti ada perhatian dari anggota komunitas yang sama-sama peduli terhadap brand tertentu.

Ketika Sabun Dove melakukan kampanye tentang the real beauty, banyak perdebatan di kalangan perempuan dengan beragam tipe.  Perempuan muda, perempuan kurus, perempuan STW, perempuan yang berkulit hitam, bahkan perempuan gemuk pun ingin ikut mendefinisikan tentang real beauty.

Itu menunjukkan letupan jiwa atau anxiety and desire dari para perempuan itu bahwa mereka pun ingin bisa mencapai tingkatan real beauty itu. Kalau sudah begitu, Dove dianggap brand yang peduli akan hal tersebut. Itu lebih bagus daripada Dove langsung saja mendefinisikannya.

Kelima, Opinion Leader akan bisa membangun komunitas secara kuat. Kenyataannya, komunitas yang kuat adalah yang memberi kesempatan pada semua anggotanya mengambil peranan atau role. Lihat saja Mark Zuckerberg yang mendirikan Facebook, dulunya juga nobody. Tapi, dia tahu bagaimana membuat semua orang bisa mendirikan komunitas pribadi dengan menggunakan platform-nya. Komunitas tidak boleh dimonopoli oleh eksekutif brand, walaupun mereka adalah pendirinya. Ajak anggota untuk ikut berperan walaupun tetap dengan pengarahan.

Keenam, media sosial adalah kunci kesuksesan sebuah komunitas. Yang benar adalah media sosial hanya sebuah alat bukan straregi komunitas. Sebuah komunitas online akan rapuh tanpa ada kopi darat (kopdar) yang teratur. Justru pertemuan-pertemuan off-line itulah yang membuat hubungan antarmanusia di dalam komunitas semakin kuat. Nah, komunikasi on-line akan makin mempererat lagi.
Newer Post Older Post Home

0 comments: