Ju’alah

By | 06:09 Leave a Comment
Ju’alah atau ji’alah berasal dari bahasa arab: ja’ala - yaj’alu - ja’lan. Ja’ala secara harfiah bermakna mengadakan atau menjadikan, sedangkan Ju’alah bermakna upah, harga atau gaji.

Diantara beberapa pengertian dari para ahli: akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’ul) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.

Ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

Dari berbagai pengertian yang ada, penulis mengambil pengertian bahwa ju’alah secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi (istilah) fiqih berarti "Suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu, secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan".

Menurut Mazhab Maliki: Ju’alah adalah suatu upah yang diberikan kepada pekerjaan yang hasil dari pekerjaan tersebut mempunyai manfaat.

Menurut Mazhab Hanafi: Ju’alah tidak dibenarkan atau tidak diperbolehkan karena didalam Ju’alah akan timbul penipuan (gharar) karena tidak diketahui pekerjaan yang akan dilakukan dan waktu pekerjaannya. Bagi Mazhab Hanafi menyatakan bahwa akad Ju’alah harus diketahui pekerjaan apa yang akan dilakukan, tujuan dari pekerjaan tersebut serta waktu pelaksanaannya.
Menurut Mazhab Syafi’i: Akad Ju’alah yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.

Menurut Mazhab Hambali: Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya Ju’alah sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan akad ijarah (sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali, sementara itu ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara sukarela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat mendorong agar akad Ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.

Akad Ju’alah terdapat dua pihak yang menjadi subjek akad yaitu Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan. Dan Maj’ullah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.

Akad Ju’alah harus bersifat jelas dari bentuk pekerjaannya dan waktu pekerjaannya dan objek Ju’alah adalah tidak dilarang oleh Syariah. Akad Ju’alah dalam menetapkan hasil pekerjaan (natijah) harus jelas dan diketahui oleh para pihak pada saat terjadinya akad. Akad Ju’alah harus juga menjelaskan besaran imbalan yang akan diterima oleh Maj’ullah. Akad Ju’alah dalam pelaksanaannya tidak boleh ada syarat imbalan yang diberikan pada permulaan akad (sebelum pelaksanaan objek Ju’alah).

2. Landasan Hukum
Para ulama berselisih pendapat tentang larangan dan kebolehan ju’alah. Diantara para imam yang memperbolehkan ji’alah adalah Imam Maliki, Syafi’i, dan Hambali, dengan alasan sebagai berikut:
Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Yusuf ayat 72:

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya".

Newer Post Older Post Home

0 comments: