PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURHAN

By | 14:38 Leave a Comment
Dalam pasal 1 ayat 1 sub 2 Undang – Undang No. 22 tahun 1957 disebutkan, yang dimaksud dengan perselisiha perburuhan adalah :
 “pertentangan antara pengusaha atau kumpulan pengusaha dengan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja, berhubungan dengan tidak adanya penyesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat – syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan”.

Perselisihan perburuhan dapat dibedakan menjadi dua :
1.      perselisihan perburuhan menurut sifatnya
a.       perselisihan perburuhan kolektif, yakni perselisihan yang terjadi antara pengusaha dengan srikat pekerja, karena tidak adanya penyesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat – syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.
b.      Perselisihan perburuhan perseorangan, yaitu perselisihan antara pekerja yang tidak menjadi anggota srikat pekerja dengan pengusaha. Perselisihan ini tidak di dukung oleh Undang – Undang No. 22 tahun 1957.

2.      perselisihan perburuhan menurut jenisnya
a.       perselisihan hak, yaitu perselisiha yang  timbul antara pengusaha atau kumpulan pengusaha dengan srikat pekerja atau gabungan srikat pekerja, karena salah satu pihak dalam perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersam tidak memenuhi isi daripada perjanjian kerja tersebut atau melangga ketentuan hukum yang berlaku bagi hubungan kerja. Dengan kata lain tidak adanya penyesuaian paham dalam hubungan kerja yang telah mereka sepakati bersama.
b.      Perselisihan kepentingan, yakni pertentangan antara pengusaha atau kumpulan pengusaha dengan srikat pekerja atau gabungan srikat pekerja,sehubungan dengan tidak adanya penyesuaian pendapat mengenai syarat – syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Misalnya timbulnya tuntutan kenaikan upah.

Sebuah perusahaan dengan modal bersama yang mempekerjakan karyawan sekitar ratusan orang, tentunya tidak terlepas dari perslisihan perburuhan. Terjadinya perselisihan dikarenakan adanya pelanggaran disiplin kerja dan salah pengertian diantara pekerja dan pengusaha, diantaranya :
1.      tidak disiplin masuk kerja, yaitu datang terlambat dan pulang sebelum waktunya dengan alas an yang tidak dapat diterima oleh pengusaha.
2.      tidak cakap atau tidak sanggup melaksanakan petunjuk – petunjuk atasan mengenai tugas yang diberikan.
3.      menolak tugas yang dilimpahkan atau menolak melakukan perintah yang wajar sesuai dengan tata tertib dan peraturan perusahaan.
4.      melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji.
5.      tidak hormat, menghormati, bertindak kasar atau memperlihatkan sifat yang menjengkelkan dan menentang perintah atasan.

 Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-undangan perburuhan dan ketenaga kerjaan masalah penyelesaian sengketa buruh masih memakai undang-undang lama antara lain :
1.                  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
2.                  Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.
Didalam kedua produk Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan Undang-undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-undang lain seperti Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000, dan Undang-undang penyelesaian perselisihan Industrial Nomor 2 Tahun 2004.
Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan.
1.      Penyelesaian Melalui Bipartie
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama.
Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian.
1.      Penyelesaian Melalui Mediasi
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut.
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
1.      Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut.
1.      Penyelesaian Melalui Arbitrase
Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi :
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Cakap melakukan tindakan hukum
  3. Warga negara Indonesia
  4. Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
  5. Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
  6. Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
  7. Menguasai peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan
  8. Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Pengangkatan arbiter berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P.
Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1.            Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
2.            Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
3.            Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
4.            Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
1.                  Hakim
2.                  Hakim ad Hoc
3.                  Panitera Muda, dan
4.                  Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
1.                  Hakim Agung
2.                  Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
3.                  Panitera
  Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Warga negara Indonesia
2.      Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3.      Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4.      Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
5.      Berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
6.      Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
7.      Berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan
8.      Berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta menuggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Ketenaga Kerjaan. Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan .
Newer Post Older Post Home

0 comments: