PENERAPAN TEORI DAN APLIKASI PEGADAIAN SYARIAH PRODUK AR-RAHN PADA PERUM PEGADAIAN DI INDONESIA

By | 13:17 Leave a Comment

Adanya kebutuhan tiap-tiap individu dan organisasi atas ketersediaan uang tunai pada tiap kegiatan dan aktivitas sehari-hari. Biasanya kebutuhan akan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan ini, dipenuhi dengan cara melakukan peminjaman uang tunai.

Kegiatan pinjam meminjam ini dilakukan oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu lembaga, baik lembaga perbankkan maupun non perbankkan dan informal maupun lembaga nonformal. Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih berada di garis kemiskinan cenderung memilih melakukan kegiatan pinjam meminjam kepada lembaga informal seperti misalnya rentenir. Kecenderungan ini dilakukan karena mudahnya persyaratan yang harus dipenuhi, mudah diakses dan dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Namun di balik kemudahan tersebut, rentenir atau sejenisnya menekan masyarakat dengan tingginya bunga.

Jika masyarakat mau melihat keadaan lembaga formal yang dapat dipergunakan untuk melakukan pinjam meminjam, mungkin masyarakat akan cenderung memilih lembaga formal tersebut untuk memenuhi kebutuhan dananya. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Saat ini, masih terdapat kesan pada masyarakat bahwa mrminjam ke bank adalah suatu hal yang lebih membanggakan dibandingkan dengan lembaga formal lain, padahal dalam prosesnya memerlukan waktu yang relatif lama dengan persyaratan yang cukup rumit. Padahal, pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan akses yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana.

Namun ternyata tidak hanya sampai di situ fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam, maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan. Cepat karena hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk prosesnya, praktis karena persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan lain, serta menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan syariah begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud di atas adalah produk Gadai Syariah.

Namun, pertanyaan yang kini muncul adalah bagaimana penerapan teori dengan pengaplikasian pada produk ar-rahn di perum pegadaian?.

Pengertian Gadai

Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al- habsu (Pasaribu, 1996). Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al- habsu berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut (Syafei, 1987). Sedangkan menurut Sabiq (1987),rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitabal-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al-Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab mendefinisikanrahn sebagai menjadikan benda yang bersifat harta benda itu bila utang tidak dibayar (Sudarsono, 2003).

Sedangkan menurut UU Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

2.1.2. Dasar Hukum Gadai

Dasar hukum gadai menurut Islam adalah Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 282 dan 283 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklahh kamu menuliskannya..” dan “Jika kamu dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikkan amanatnya (hutangnya)…”.

Terdapat beberapa hadits Nabi yang menggambarkan bahwa Nabi melakukan proses gadai, salah satunya adalah hadits HR Bukhari dan Muslim yang isinya : Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. Sedangkan menurut ijtihad, terdapat perbedaan yaitu Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian, namun Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahiri berpendapat bahwar ahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian.

2.1.3. Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai serta Hak dan Kewajiban

Penerima dan Pemberi Gadai

Di dalam bukunya Fiqh Islam (1988), Mohammad Anwar menyebutkan rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut :

1. Ijab qabul (sighot)

2. Orang yang bertransaksi (Aqid), terdiri dari rahin (pemberi gadai) dan

murthahin (penerima gadai)

3.Adanya barang yang digadaikan (Marhun)

4.Utang (Marhun bih)

Sedangkan syarat sah perjanjian gadai adalah :

1. Shigat

2. Orang yang berakal

3. Barang yang dijadikan pinjaman

4. Utang (marhun bih)

Hak penerima gadai adalah sebagai berikut :

1. Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun

2. Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan

penggantian biaya yang dikeluarkan.

3. Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasi.

Kewajiban dari penerima gadai adalah :

1. Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka marhun harus bertanggung jawab.

2. Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.

3. Sebelum diadakan pelelangan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin.

Hak dari pemberi gadai adalah :

1. Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin.

2. Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi ataas marhun.

3. Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun. apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, makarahin berhak untuk meminta marhunnya kembali.

Kewajiban dari pemberi gadai adalah :

1. Melunasi penjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam

kurun waktu yang telah ditentukan.

2. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi

pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya.

Akad Perjanjian Transaksi Gadai

a) Qard al- Hasan

Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) kepada pegadaian (murtahin)

Ketentuannya:

- Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang elektronik, dan lain sebagainya.

- Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrsi kepada rahin.

b) Mudharabah

Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.

Ketentuannya:

- Barang gadai dapat berupa barang barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti : emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, dan lain-lain. - Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun

c) Ba’i Muqayyadah

Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin aupun murtahin.

d) Ijarah

Objek dari akad ini pertukaran manfaat tertentu.bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.

Pemanfaatan Barang Gadaian dan Berakhirnya AkadRahn

Mayoritas ulama membolehkan pegadaian memanfaatkan barang yang digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin selain itu pengadai harus menjamin barang tersebut selamat dan utuh. Dari Abu Hurairah r.a bahsawanya Rasulullah saw berkata: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian atau biaya” (HR Syafi’i dan Daruqutni). Sedangkan sebagian ulama lainnya, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak boleh mempergunakan barang rahn.

Akad rahn berakhir bila telah terjadi hal-hal seperti disebutkan di bawah ini:

1.Barang telah diserahkan kembali pada pemiliknya.
2.Rahin membayar hutangnya.
3.Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
4.Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
5.Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin.
6.Memanfaatkan barangrahn dengan barang penyewaan, hibah atau shadaqah baik dari pihak rahin maupun murtahin.

Kegiatan Pelelangan

Pelelangan baru dapat dilakukan jika nasabah (rahin) tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Sebelum dilakukan pelelangan, harus ada pemberitahuan pada lima hari sebelum tanggal penjualan. Ketentuan dari pelelangan ini adalah :

1.Untuk marhun berupa emas ditetapkan margin sebesar 2 % untuk pembeli.
2.Pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas.
3.Biaya penjualan sebesar 1 % dari hasil penjualan, biaya pinjaman empat bulan, sisanya dikembalikan ke nasabah.
4.Sisa kelebihan yang tidak diambil selama satu tahun akan diserahkan ke baitul maal.

Persamaan dan Perbedaan antaraRah n dan Gadai

Terdapat beberapa persamaan antaraRahn dan gadai yaitu hak gadai berlaku atas pinjaman uang, adanya anggaran (barang jaminan) sebagai jaminan hutang, tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan, biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai, dan apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang. Sedangkan beberapa perbedaan antara gadai dan rahn adalah :

1.Rahn dilakukan secara sukarela tanpa mencari keuntungan, gadai dilakukan dengan prinsip tolong menolong tetapi juga menarik keuntungan dengan menarik bunga.

2.Hak rahn berlaku pada seluruh harta (benda bergerak dan benda tidak bergerak).

3.Rahn menurut hukum Islam dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga, sedangkan gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga (Perum Pegadaian)

Pegadaian Syariah di Indonesia

Lembaga yang menyelenggarakan pegadaian syariah di Indonesia adalah Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Adapun sejarah dari Perum Pegadaian adalah sebagai berikut. Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karanganyar, Kebumen karena situasi perang yang kian memanas. Agresi Militer Belanda II memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini, Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), dan selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.10/1990 (yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (Perum) hingga sekarang.

Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.

Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

Untuk menjadi lembaga keuangan yang terbaik di mata masyarakat, maka Perum Pegadaian terus meluncurkan produk-produk jasa keuangan termasuk salah satunya adalah pegadaian pola syariah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pegadaian syariah ini mulai dioperasikan di Indonesia mulai Januari 2003. Secara umum, perkembangan pegadaian syariah cukup baik. Perkembangan Pegadaian Syariah sampai akhir Februari 2009, jumlah pembiayaan mencapai 1, 6 triliun Rupiah dengan nasabah 600 ribu orang. Jumlah kantor cabang Pegadaian Syariah ini berjumlah 120 unit yang berarti masih 4 % dari jumlah Pegadaian Konvensional yang ada di Indonesia (Harian Republika dalam Wakhyudin, 2009). Pegadaian Syariah sebagai lembaga yang dimiliki pemerintah tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan dibandingkan dengan bank. Menurut Endang (1993) dan Muhammad (1997) kelebihan-kelebihan Pegadaian Syariah dibandingkan dengan bank adalah :

1. Persyaratan yang sangat sederhana, sehingga memudahkan konsumen dalam memenuhinya.

2. Prosedur yang sangat sederhana, sehingga memungkinkan konsumen

memperoleh dana dalam waktu 15 menit saja.

3.Keanekaragaman barang yang dapat dijadikan jaminan, angsuran ringan tidak

ditentukan jumlahnya dan dapat diangsur sesuai kemampuan dengan jangka

waktu 120 hari.

4. Cukup dipungut biaya administrasi dan biaya ijarah.

5. Pihak pegadaian tidak mempermasalahkan tujuan penggunaan uang tersebut, sehingga konsumen dapat memanfaatkan uang tersebut untuk kepentingan apa saja.

6.Dapat dilunasi sewaktu-waktu, maupun diperpanjang dengan membayar biayaadministrasi dan biaya ijarahnya.

7. MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai operasionalisasi Pegadaian Syariah.Sedangkan kekurangan dari Pegadaian Syariah dibandingkan dengan bankadalah sebagai berikut :

1. Harus ada jaminan barang bergerak yang mempunyai nilai.

2. Barang bergerak yang dijadikan jaminan harus diserahkan kepada Perum Pegadaian, sehingga konsumen tidak dapat memanfaatkan barang tersebut selama berada di Perum Pegadaian.

3. Jumlah kredit gadai masih terbatas untuk jenis emas dan berlian pada kota- kota besar, padahal di kota besar angka kemiskinan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di kota kecil.

4. Belum semua masyarakat memahami mengenai sistem dari gadai syariah.

5. Belum memiliki visi misi karena masih menyatu dengan perusahaan Induknya

Implementasi Gadai Syariah di Perum Pegadaian

Gadai syariah di Perum Pegadaian Syariah diimplementasikan dengan adanya fasilitas rahn, yaitu produk jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah, dimana nasabah hanya akan dipungut biaya administrasi dan ijarah (biaya jasa simpan dan pemeliharaan barang jaminan). Prinsip-prinsip syariah yang diberlakukan pada produk gadai syariah di Perum Pegadaian adalah tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil.

Pegadaian Syariah menjawab kebutuhan transaksi gadai sesuai Syariah, untuk solusi pendanaan yang Cepat, Praktis, dan Menentramkan. Cepat, karena hanya 15 menit kebutuhan dana akan terpenuhi. Praktis, karena tidak perlu membuka rekening ataupun prosedur lain yang memberatkan. Konsumen cukup membawa barang-barang berharga milik pribadi, saat itu juga konsumen akan mendapatkan dana yang dibutuhkan dengan jangka waktu hingga 120 hari dan dapat dilunasi sewaktu-waktu. Jika masa jatuh tempo tiba dan konsumen masih memerlukan dana pinjaman tersebut, maka pinjaman dapat diperpanjang hanya dengan membayar sewa simpan dan pemeliharaan serta biaya administrasi. Sedangkan menentramkan, karena sumber dana Pegadaian Syariah berasal dari sumber yang sesuai dengan syariah, proses gadai berlandaskan prinsip syariah, serta didukung oleh petugas-petugas dan outlet dengan nuansa Islami sehingga lebih syar'i dan menetramkan.

Dalam prinsip syariah, pengoperasian gadai syariah menggunakan metode mudharabah atau prinsip bagi hasil. Namun, pada aplikasinya, Perum pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI) karena nasabah dalam mempergunakan dana mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, sehingga metode mudharabah tidaknfeasible untuk diterapkan pada Perum Pegadaian.

Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk

rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan Umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang)

sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan marhun

a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera

melunasi utangnya.

b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual

paksa/dieksekusi.

c. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi

kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

Dari landasan syariah yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, adapun mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : melalui akadrahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai penarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :

1.Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin

mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.

2.Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.

3.Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.

4. Jumlah maksimum danarahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta

jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.

5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi, biaya

penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad

dengan kesepakatan :

1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.

2.Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.

3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saatpencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan, mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi, atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS

Selain aspek operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagaifundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik

transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :

1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang

disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.

2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat aces s oir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan

KeKesimpulan

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan dengan mengulas mengenai teori gadai syariah yang berlandaskan prinsip-prinsip syariat Islam dengan membandingkannya dengan operasionalisasi gadai syariah yang telah dipraktekkan pada Perum Pegadaian di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa operasionalisasi gadai syariah yang diterapkan, secara umum, telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Namun, ada beberapa hal, seperti prinsip mudharabah yang belum dapat dipraktekkan secara sempurna karena kebutuhan masyarakat akan dana tersebut belum dapat dikontrol oleh pihak Perum Pegadaian, sehingga kita tidak dapat memastikan apakah dana yang berasal dari transaksi gadai syariah tersebut digunakan untuk sesuatu yang sesuai dengan syariah atau tidak.

Newer Post Older Post Home

0 comments: